KEUTAMAAN
10 HARI YANG PERTAMA BULAN DZULHIJJAH.
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, Rahimahullah, dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Tidak ada hari dimana amal
shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu :
Sepuluh hari dari bulan DzulHijjah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah, tidak juga
jihad fi sabilillah ?. Beliau menjawab : Tidak juga jihad fi sabilillah,
kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak
kembali dengan sesuatu apapun”. Imam Ahmad, Rahimahullah, meriwayatkan dari
Umar Radhiyallahu 'Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk
berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (DzulHijjah) ini. Maka
perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid.”
MACAM-MACAM
AMALAN YANG DISYARIATKAN
1. Melaksanakan Ibadah Haji Dan Umrah (dibahas dalam bab
haji&umrah)
Amal ini
adalah amal yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang
menunjukkan keutamaannya, antara lain : sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam: “Artinya : Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang
dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah
Surga”
2. Berpuasa
selama hari-hari tersebut, atau pada sebagiannya, terutama pada Hari Arafah
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah
jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan
dalam hadist Qudsi : “Artinya : Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang
akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya
semata-mata karena Aku”. Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu
'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Tidaklah
seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan
dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun” [Hadits
Muttafaq 'Alaih]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Rahimahullah
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Berpuasa pada
hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun
sebelum dan sesudahnya”
3. Takbir
Idul Fitri Dan Idul Adha
Allah
Ta'ala berfirman : "Artinya : Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada
kalian, mudah-mudahan kalian mau bersyukur". Telah pasti riwayat bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Beliau keluar pada hari
Idul fitri, maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang), dan
hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat, beliau
menghentikan takbir". [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
"Al-Mushannaf" dan Al-Muhamili dalam "Kitab Shalatul
'Iedain" dengan isnad yang shahih akan tetapi hadits ini mursal. Namun
memiliki pendukung yang menguatkannya. Lihat Kitab "Silsilah Al Hadits
As-Shahihah" (170). Takbir pada Idul Fithri dimulai pada waktu keluar
menunaikan shalat Id]
Berkata
Al-Muhaddits Syaikh Al Albani : "Dalam hadits ini ada dalil
disyari'atkannya melakukan takbir secara jahr (keras/bersuara) di jalanan
menuju mushalla sebagaimana yang biasa dilakukan kaum muslimin. Meskipun banyak
dari mereka mulai menganggap remeh sunnah ini hingga hampir-hampir sunnah ini
sekedar menjadi berita... Termasuk yang baik untuk disebutkan dalam kesempatan
ini adalah bahwa mengeraskan takbir disini tidak disyari'atkan berkumpul atas
satu suara.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang waktu takbir pada dua hari raya, maka
beliau rahimahullah menjawab : "Segala puji bagi Allah, pendapat yang
paling benar tentang takbir ini yang jumhur salaf dan para ahli fiqih dari
kalangan sahabat serta imam berpegang dengannya adalah : Hendaklah takbir
dilakukan mulai dari waktu fajar hari Arafah sampai akhir hari Tasyriq (
tanggal 11,12,13 Dzulhijjah), dilakukan setiap selesai mengerjakan shalat,
dan disyariatkan bagi setiap orang untuk mengeraskan suara dalam bertakbir
ketika keluar untuk shalat Id. Ini merupakan kesepakatan para imam yang
empat". [Majmu Al -Fatawa 24/220 dan lihat 'Subulus Salam' 2/71-72]
*) Aku katakan :
Ucapan beliau rahimahullah : '(dilakukan) setelah selesai shalat' -secara
khusus tidaklah dilandasi dalil. Yang benar, takbir dilakukan pada setiap waktu
tanpa pengkhususan. Yang menunjukkan demikian adalah ucapan Imam Bukhari dalam
kitab 'Iedain dari "Shahih Bukhari" 2/416 : "Bab Takbir pada
hari-hari Mina, dan pada keesokan paginya menuju Arafah".
Umar
Radliallahu 'anhu pernah bertakbir di kubahnya di Mina. Maka orang-orang yang
berada di masjid mendengarnya lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula
orang-orang yang berada di pasar hingga kota Mina gemuruh dengan suara takbir.
Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu dan setelah shalat (lima
waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majlis dan di tempat berjalannya pada
hari-hari itu seluruhnya.
Pada
pagi hari Idul Fitri dan Idul Adha, Ibnu Umar mengeraskan takbir hingga ia tiba
di mushalla, kemudian ia tetap bertakbir hingga datang imam. [Diriwayatkan oleh
Ad-Daraquthni, Ibnu Abi Syaibah dan selainnya dengan isnad yang shahih. Lihat
"Irwaul Ghalil' 650]. Maimunnah pernah bertakbir pada hari kurban, dan
para wanita bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada
malam-malam hari Tasyriq bersama kaum pria di masjid".
Sepanjang
yang penulis ketahui, tidak ada hadits nabawi yang shahih tentang tata cara
takbir. Yang ada hanyalah tata cara takbir yang di riwayatkan dari sebagian
sahabat, semoga Allah meridlai mereka semuanya. Imam Bukhari Rahimahullah
menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhum keluar ke pasar
pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun
mengikuti takbirnya. Dan Ishaq, Rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha', tabiin
bahwa pada hari-hari ini mengucapkan :“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaha
Ilallah, wa-Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu”
Seperti Ibnu Mas'ud, ia
mengucapkan takbir dengan lafadh:“Allahu Akbar Allahu Akbar Laa ilaha
illallaha, wa Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamdu”[Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah 2/168 dengan isnad yang shahih]. Sedangkan Ibnu Abbas
bertakbir dengan lafadh:“Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil
hamdu, Allahu Akbar, wa Ajalla Allahu Akbar 'alaa maa hadanaa”[Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]
*) Banyak orang awam yang
menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari salaf ini dengan dzikir-dzikir lain
dan dengan tambahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Sehingga Al-Hafidh Ibnu
Hajar rahimahullah berkata dalam "Fathul Bari (2/536) : "Pada masa
ini telah diada adakan suatu tambahan dalam dzikir itu, yang sebenarnya tidak
ada asalanya".
4. Taubat Serta Meninggalkan Segala Maksiat Dan
Dosa
Sehingga akan
mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan
terusirnya hamba dari Allah, dan keta'atan adalah penyebab dekat dan cinta
kasih Allah kepadanya. Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu
'Anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. “Artinya :
Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang
hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya” [Hadits Muttafaq 'Alaihi].
5. Banyak Beramal Shalih
Berupa ibadah
sunat seperti : shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur'an, amar ma'ruf nahi
munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipat
gandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada
hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada
hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang
merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali
dengan harta dan jiwanya.
6. Berkurban
Pada Hari Raya Qurban Dan Hari-Hari Tasyriq
Hal ini adalah
sunnah Nabi Ibrahim 'Alaihissalam, yakni ketika Allah Ta'ala menebus putranya
dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam: “Artinya : Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna
putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama
Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu”
[Muttafaq 'Alaihi]
Ada beberapa
hukum yang berkaitan dengan hewan kurban. Sepantasnyalah bagi seorang muslim
untuk mengetahuinya agar ia berada di atas ilmu dalam melakukan ibadahnya, dan
di atas keterangan yang nyata dari urusannya. Berikut ini aku sebutkan
hukum-hukum tersebut secara ringkas.
1). Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkurban dengan dua ekor domba jantan yang disembelihnya setelah shalat
Id. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan. “Artinya : Siapa yang
menyembelih sebelum shalat maka tidaklah termasuk kurban sedikitpun, akan
tetapi hanyalah daging sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya”
2). Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan kepada para sahabatnya agar mereka menyembelih jadza' dari
domba, dan tsaniyya dari yang selain domba. Mujasyi bin Mas'ud radhiyallahu
'anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. “Artinya :
Sesungguhnya jadza' dari domba memenuhi apa yang memenuhi tsaniyya dari
kambing”
3). Boleh mengakhirkan
penyembelihan pada hari kedua dan ketiga setelah Idul Adha, karena hadits yang
telah tsabit dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : (bahwa) beliau bersabda:
“Artinya : Setiap hari Tasyriq ada sembelihan”
4). Beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam memilih hewan kurban yang sehat, tidak cacat. Beliau melarang untuk
berkurban dengan hewan yang terpotong telinganya atau patah tanduknya. Beliau
memerintahkan untuk memperhatikan kesehatan dan keutuhan (tidak cacat) hewan
kurban, dan tidak boleh berkurban dengan hewan yang cacat matanya, tidak pula
dengan muqabalah, atau mudabarah, dan tidak pula dengan syarqa' ataupun kharqa'
semua itu telah pasti larangannya.
5). Belaiu shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah lapang tempat dilaksanakannya shalat.
5). Belaiu shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban di tanah lapang tempat dilaksanakannya shalat.
6). Termasuk petunjuk Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa satu kambing mencukupi sebagai kurban dari
seorang pria dan seluruh keluarganya walaupun jumlah mereka banyak. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Atha' bin Yasar : Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari
: “Bagaimana hewan-hewan kurban pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam ?” Ia menjawab : “Jika seorang pria berkurban dengan satu kambing
darinya dan dari keluarganya, maka hendaklah mereka memakannya dan memberi
makan yang lain”
7). Disunnahkan bertakbir dan
mengucapkan basmalah ketika menyembelih kurban, karena ada riwayat dari Anas bahwa
ia berkata : “Artinya : Nabi berkurban dengan dua domba jantan yang berwarna
putih campur hitam dan bertanduk. beliau menyembelihnya dengan tangannya,
dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau
di sisi-sisi kedua domba tersebut”
8). Hewan kurban yang afdhal
(lebih utama) berupa domba jantan (gemuk) bertanduk yang berwarna putih
bercampur hitam di sekitar kedua matanya dan di kaki-kakinya, karena demikian
sifat hewan kurban yang disukai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
9). Disunnahkan seorang muslim
untuk bersentuhan langsung dengan hewan kurbannya (menyembelihnya sendiri) dan
dibolehkan serta tidak ada dosa baginya untuk mewakilkan pada orang lain dalam
menyembelih hewan kurbannya.
10). Disunnahkan bagi keluarga
yang menyembelih kurban untuk ikut makan dari hewan kurban tersebut dan
menghadiahkannya serta bersedekah dengannya. Boleh bagi mereka untuk menyimpan
daging kurban tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: “Artinya
: Makanlah kalian, simpanlah dan bersedekahlah”
11). Badanah (unta yang gemuk)
dan sapi betina mencukupi sebagai kurban dari tujuh orang. Imam Muslim telah
meriwayatkan dalam "Shahihnya" (350) dari Jabir radhiyallahu 'anhu ia
berkata: “Artinya : Di Hudaibiyah kami menyembelih bersama Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi betina untuk tujuh
orang”
12). Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak diberikan dari hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Ali radhiyallahu ia berkata: “Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya dan aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami”
12). Upah bagi tukang sembelih kurban atas pekerjaannya tidak diberikan dari hewan kurban tersebut, karena ada riwayat dari Ali radhiyallahu ia berkata: “Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurus kurban-kurbannya, dan agar aku bersedekah dengan dagingnya, kulit dan apa yang dikenakannya dan aku tidak boleh memberi tukang sembelih sedikitpun dari hewan kurban itu. Beliau bersabda : Kami akan memberikannya dari sisi kami”
13). Siapa di antara kaum
muslimin yang tidak mampu untuk menyembelih kurban, ia akan mendapat pahala
orang-orang yang menyembelih dari umat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
karena Nabi berkata ketika menyembelih salah satu domba. “Artinya : Ya Allah
ini dariku dan ini dari orang yang tidak menyembelih dari kalangan umatku”
14). Berkata Ibnu Qudamah dalam
"Al-Mughni" (11/95) : "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
Al-Khulafaur rasyidun sesudah beliau menyembelih kurban. Seandainya mereka tahu
sedekah itu lebih utama niscaya mereka menuju padanya.... Dan karena
mementingkan/mendahulukan sedekah atas kurban mengantarkan kepada
ditinggalkannya sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
7. Dilarang Mencabut/Memotong Rambut dan Kuku
bagi orang yang hendak Berkurban.
Diriwayatkan
oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah Radhiyallhu 'Anha bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Artinya : Jika kamu melihat hilal
bulan Dzul Hijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka
hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya”. Dalam riwayat
lain: “Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia
berkurban”
Hal ini,
mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan
kurbannya. Firman Allah: “Artinya : ..... dan jangan kamu mencukur (rambut)
kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan...” (Al-Baqarah : 196)
*) Larangan ini, menurut
zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk
istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan
diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa
rambutnya yang rontok...
8. Sholat Ied
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : "Kami menguatkan pendapat bahwa shalat Id
hukumnya wajib bagi setiap individu (fardlu 'ain), sebagaimana ucapan Abu
Hanifah[Lihat "Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166 dan sesudahnya] dan selainnya. Hal
ini juga merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi'i dan salah satu dari
dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Adapun pendapat orang yang menyatakan
bahwa shalat Id tidak wajib, ini sangat jauh dari kebenaran. Karena shalat Id
termasuk syi'ar Islam yang sangat agung. Manusia berkumpul pada saat itu lebih
banyak dari pada berkumpulnya mereka untuk shalat Jum'at, serta disyari'atkan
pula takbir di dalamnya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa shalat Id
hukumnya fardhu kifayah adalah pendapat yang tidak jelas. [Majmu Fatawa
23/161].
Berkata
Al-Allamah Asy Syaukani dalam "Sailul Jarar" (1/315).
"Ketahuilah bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus
mengerjakan dua shalat Id ini dan tidak pernah meninggalkan satu kalipun. Dan
beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, hingga menyuruh
wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita haid. [Shiddiq
Hasan Khan dalam "Al-Mau'idhah Al-Hasanah" 42-43]. Beliau menyuruh
wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta
dakwah kaum muslimin. Bahkan beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab
agar dipinjamkan oleh saudaranya.[ Telah tsabit semua ini dalam hadits Ummu
Athiyah yang dikeluarkan oleh Bukhari (324), (352), (971), (974), (980), (981)
dan (1652). Muslim (890), Tirmidzi (539), An-Nasaa'i (3/180) Ibnu Majah (1307)
dan Ahmad (5/84 dan 85)].
Berkata Syaikh kami Al-Albani
dalam "Tamamul Minnah" (hal 344) setelah menyebutkan hadits Ummu
Athiyah : “Maka perintah yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajibkan
keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkan shalat lebih utama sebagaimana hal
ini jelas, tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya wajib tidak sekedar
sunnah ...”
Waktu
Pelaksanaan Sholat Ied
Abdullah bin
Busr sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia
pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia
berkata : "Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang
demikian itu tatkala tasbih" [Yakni waktu shalat sunnah, ketika telah
lewat waktu diharamkannya shalat. lihat Fathul Bari 2/457 dan An-Nihayah
2/331]. Ini riwayat yang paling shahih[Bukhari menyebutkan hadits ini secara
muallaq dalam shahihnya 2/456 dan Abu Daud meriwayatkan secara bersambung 1135,
Ibnu Majah 1317, Al-Hakim 1/295 dan Al-Baihaqi 3/282 dan sanadnya Shahih] dalam
bab ini, diriwayatkan juga dari selainnya akan tetapi tidak tsabit dari sisi
isnadnya.
Berkata
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi : “Waktu shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah
dimulai dari naiknya matahari setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang
paling utama, shalat Idul Adha dilakukan di awal waktu agar manusia dapat
menyembelih hewan-hewan kurban mereka, sedangkan shalat Idul Fithri
diakhirkan agar manusia dapat mengeluarkan zakat Fithri mereka” [Minhajul
Muslim 278]
*)Jika tidak
diketahui hari ‘Ied kecuali pada akhir waktu maka shalat ‘Ied dikerjakan pada
keesokan paginya.
Abu Daud 1157, An-Nasa'i 3/180 dan
Ibnu Majah 1653 telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Umair bin
Anas, dari paman-pamannya yang termasuk sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam : "Mereka bersaksi bahwa mereka melihat hilal (bulan tanggal satu)
kemarin, maka Nabi memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi ke mushalla
mereka keesokan paginya”
9. Selain Hal-Hal Yang Telah Disebutkan Diatas.
Hendaknya setiap
muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan
syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala
larangan; memanfaatkan kesempatan ini,berusaha memperoleh kemurahan Allah agar
mendapat ridha-Nya.
SUNNAHNYA mandi
sebelum shalat dan makan di Hari Raya ‘Ied
Berkata Imam Ibnu Qudamah: “Disunnahkan untuk bersuci dengan
mandi pada hari raya. Ibnu Umar biasa mandi pada hari Idul Fithri dan
diriwayatkan yang demikian dari Ali Radhiyallahu 'anhu. Dengan inilah
Alqamah berpendapat, juga Urwah, 'Atha', An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Qatadah, Abuz
Zinad, Malik, Asy-Syafi'i dan Ibnul Mundzir" [Al-Mughni 2/370]. Adapun
yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang mandi
ini maka haditsnya dhaif (lemah). Imam Said Ibnul Musayyib berkata: “Sunnah
Idul Fithri itu ada tiga : berjalan kaki menuju ke mushalla, makan sebelum
keluar ke mushalla dan mandi” [Diriwayatkan Al-Firyabi 127/1 dan 2, dengan
isnad yang shahih, sebagaimana dalam 'Irwaul Ghalil' 2/104]. Penulis katakan : Mungkin yang beliau maksudkan adalah sunnahnya
para sahabat, yakni jalan mereka dan petunjuk mereka, jika tidak, maka tidak
ada sunnah yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal
demikian.
Dari Buraidah Radliallahu anhu ia berkata: “ Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak keluar pada hari Idul Fitri hingga beliau makan,
sedangkan pada hari Raya Kurban beliau tidak makan hingga kembali (dari
mushalla) lalu beliau makan dari sembelihannya” [Diriwayatkan Tirmidzi 542,
Ibnu Majah 1756, Ad-Darimi 1/375 dan Ahmad 5/352 dan isnadnya hasan]. Al-Allamah Ibnul Qoyyim berkata : “Adapun
dalam Idul Adha, beliau tidak makan hingga kembali dari Mushalla, lalu beliau
makan dari hewan kurbannya” [Zadul Ma'ad 1/441]
Berkata Ibnul Qayyim dalam "Zadul Ma'ad" (1/441)
tentang berpenampilan indah di hari raya. “Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar
(melaksanakan shalat) pada hari Idul Fithri dan Idul Adha. Beliau memiliki
perhiasan yang biasa dipakai pada dua hari raya itu dan pada hari Jum'at.
Sekali waktu beliau memakai dua burdah (kain bergaris yang diselimutkan pada
badan) yang berwarna hijau, dan terkadang mengenakan burdah berwarna merah
(Lihat "Silsilah As-Shahihah 1279), namun bukan merah murni sebagaimana
yang disangka sebagian manusia, karena jika demikian bukan lagi namanya burdah.
Tapi yang beliau kenakan adalah kain yang ada garis-garis merah seperti kain
bergaris dari Yaman.”
0 komentar:
Posting Komentar