Tersenyumlah Anakku, Sayang
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Ada
kabar dari Albert Bandura. Dalam tulisannya berjudul Social Foundations of
Thought and Action dalam buku Health Psychology Reader (2002),
Bandura menguraikan bahwa kompetensi efektif seseorang tidak hanya ditentukan
oleh keterampilan yang ia miliki. Bila Anda memiliki keunggulan dalam bidang
komputer, tidak serta-merta kompetensi efektif Anda akan lebih tinggi daripada
orang lain yang kecakapannya dalam bidang komputer sedikit di bawah Anda. Ada hal
lain yang dibutuhkan agar kompetensi yang kita miliki benar-benar berfungsi
efektif, yakni kepercayaan terhadap efikasi diri (self-efficacy), yakni
harapan atau keyakinan untuk sukses.
Saya
perlu menambahkan kata keyakinan untuk menunjukkan pengertian efikasi diri,
karena harapan pada orang yang memiliki efikasi diri berbeda dengan angan-angan
atau khayalan tentang sukses. Harapan untuk sukses berasal dari pengalaman yang
dipelajari, terutama dari orangtua. Bila orangtua memberi kepercayaan pada anak
sehingga memungkinkan anak belajar meningkatkan kemampuan dirinya, setiap
inisiatifnya dihargai, dan dia sebagai anak tidak banyak dikecam oleh orangtua
dan lingkungan terdekatnya yang berpengaruh, ia akan belajar menemukan harga
diri (self-esteem).
Kepercayaan
orangtua mempengaruhi pertumbuhan mental dan kepribadian anak. Banyak
keunggulan-keunggulan intelektual maupun sosial yang sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan yang diterima anak. Berkat kepercayaan orangtua kepadanya, anak
memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar pada saat ia masih kecil, yakni basic
trust (kepercayaan dasar). Kepercayaan dasar yang kuat akan membuat anak
merasa aman dan nyaman, sehingga ia berani mencoba, belajar menghargai dirinya
sehingga jika benar-benar terkelola dengan baik pada akhirnya akan membuahkan
kekuatan self-reward —keadaan dimana anak tidak perlu mendapat dukungan
dari luar sudah menemukan kebahagiaan manakala ia menuai keberhasilan.
Kepercayaan dasar juga membuat anak merasa dirinya berharga dan merasa
terlindungi.
Apa
yang terjadi bila anak tidak mempunyai kepercayaan dasar yang baik? Salah satu
anak saya pernah mengalami. Ketika lahir, pihak rumah bersalin tidak segera
memberikan kepada ibunya. Entah apa alasannya, rumah-bersalin tersebut sering
memberi perlakuan seperti itu kepada bayi-bayi yang baru lahir di sana. Anak
tidak diberikan kepada ibunya untuk segera disusui, padahal yang paling baik
adalah bayi sesegera mungkin disusui oleh ibunya, didekap oleh ibunya, sehingga
mempercepat terjadinya bonding, yakni ikatan batin antara ibu dan anak.
Bila ada bonding yang kuat antara ibu dan bayinya yang baru lahir,
insya-Allah akan memudahkan pengasuhan. Ia menjadi bayi mudah (easy baby),
maksudnya ia mudah ditangani, tidak banyak rewel, dan komunikatif. Ia juga
mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang baru karena kepercayaan dasarnya
terbangun semenjak detik-detik pertama lahir. Di antara hikmatut-taysri'
(hikmah disyari'atkannya) adzan atau mentalqin anak dengan kalimat laa
ilaha illallah pada awal-awal kelahirannya adalah membentuk kepercayaan
dasar (basic trust) yang kuat dan menstimulasi kecakapan intelektual
serta bahasa anak.
Kembali
pada masalah kepercayaan dasar. Bila anak memilikinya semenjak awal kelahiran,
ia akan mengembangkan rasa aman (secure feeling). Rasa aman inilah yang
membuatnya mau mengambil inisiatif tersenyum untuk menarik perhatian orang
dewasa. Orang psikologi biasa menyebutnya senyum sosial, meski sebenarnya tidak
hanya bermanfaat untuk mengembangkan kecakapan sosialnya. Rasa aman itu menumbuhkan
keberanian berinisiatif pada situasi-situasi yang telah dikenalnya maupun
situasi baru, bersama orang yang dikenalnya maupun bersama orang yang masih
asing. Bila anak kurang memiliki rasa aman, jauh sedikit dari orangtua sudah
menangis, sehingga hampir-hampir orangtua tidak pernah bisa beranjak karena
anak selalu menghendaki kedekatan secara fisik untuk bisa memiliki rasa aman
pada tingkat minimal.
Pada
anak yang kurang memiliki rasa aman, ia mengalami hambatan psikologis untuk
berinisiatif. Ia juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan segala sesuatu
"secara mandiri" tanpa bantuan orangtua atau orang terdekat lainnya.
Ia belajar untuk memiliki ketergantungan. Pada taraf yang mengkhawatirkan,
rendahnya rasa aman membuat ia takut berada pada situasi asing maupun
berhadapan dengan orang asing, bahkan ketika orangtua ada di sampingnya.
Meskipun ia sedang berada di pangkuan ibundanya, ketakutan itu tetap muncul
ketika orang ingin mengajaknya berkomunikasi. Ia merasa tidak nyaman berada
pada situasi yang ia belum benar-benar sangat terbiasa. Suasana baru terasa
sebagai ancaman yang menimbulkan ketakutan (fear) dan kecemasan (anxiety).
Tentu saja ini merupakan keadaan yang membahayakan pertumbuhan mental anak,
karena anak kehilangan inisiatif sosialnya, kehilangan daya kreatifnya dan
tidak mampu membangkitkan inisiatif —apalagi inovasi— meskipun secara
intelektualnya IQ-nya sangat tinggi.
Kembali
ke soal anak saya tadi. Situasi yang tidak menguntungkan di awal-awal
kelahirannya itu akhirnya memang membuat dia kurang memiliki rasa aman. Paling
tidak dibanding saudara-saudara yang lainnya. Berbekal harapan ingin
memperbaiki keadaan, saya memutuskan untuk mengambil pembantu. Bayangan saya,
dengan mempunyai pembantu yang sudah punya anak, naluri keibuannya akan muncul.
Meskipun pengasuhan anak tetap akan dipegang oleh istri saya, tetapi bagaimana
pun juga anak-anak saya tidak bisa tidak pasti akan berinteraksi dengan
pembantu. Karena itu, mencari pembantu yang sudah punya anak saya harap dapat
membangkitkan naluri keibuannya sehingga tumbuh kasih-sayang yang tulus dan
kelembutan dalam menghadapi anak.
Benar
saja. Sesuai asumsi semula, naluri keibuan pembantu saya memang bangkit, tetapi
manifestasinya bukan lemah-lembut terhadap anak. Sebaliknya, ia justru sangat kasar
terhadap anak, terlalu memproteksi anak sehingga tidak memungkinkan bagi
anak-anak untuk menumbuhkan inisiatifnya. Dan lebih menyedihkan lagi, ia
senantiasa merenggut anak-anak, terutama yang paling kecil, dari kami. Padahal
keputusan untuk mengambil pembantu itu awalnya kami maksudkan agar kami bisa
lebih banyak memperhatikan anak-anak, terutama anak yang mengalami masalah,
agar jiwanya bisa mengalami pertumbuhan yang lebih baik. Bukan justru
membuatnya terpisah dari orangtuanya, meski masih tinggal serumah.
Saya
senantiasa teringat dengan Rasulullah Saw. Beliau banyak memberi contoh
bagaimana menumbuhkan kekuatan jiwa pada anak-anak dan cucunya, membangkitkan
keunggulan mereka, serta memberi kedamaian pada jiwa mereka dengan
kasih-sayang, perhatian yang tulus, serta keakraban yang hangat. Dialah yang
merelakan dirinya ditunggangi oleh cucunya untuk main kuda-kudaan; dialah yang
senantiasa mencium anak-anak maupun cucunya sehingga menyebabkan Aqra' bin
Habis At-Tamimi berkomentar, "Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak
satu pun dari mereka yang pernah kucium." Rasulullah Saw. lalu menjawabnya
dengan ungkapan yang fasih, "Apa dayaku bila Allah telah mencabut
kasih-sayang dari hatimu." Rasulullah saw lalu menunjukkan, tidak akan
disayang orang yang tidak menyayangi anaknya.
Ya…
ya… ya…. Inilah Rasulullah Saw yang mencontohkan kepada kita bahwa
membangkitkan keunggulan dan kekokohan jiwa anak, adalah dengan memberi
landasan perhatian dan penerimaan yang hangat. Inilah yang membuat kepercayaan
dasar anak sangat kokoh, sehingga pada dirinya tumbuh rasa aman. Rasa aman ini
kemudian membuat anak mengembangkan inisiatif-inisiatifnya, baik yang bersifat
intelektual maupun sosial. Karena itu, ketika kami melihat perkembangan
anak-anak justru mengalami kemerosotan yang tajam setelah memiliki pembantu,
kami segera mengambil tindakan. Terlebih anak saya yang baru berusia sekitar 11
bulan, benar-benar menyedihkan keadaannya. Yang awal-awal kelahirannya memang
telah terenggut kesempatannya untuk membentuk ikatan batin (bonding)
yang baik dengan ibunya, hari ini dia tak lagi bisa tersenyum. Sebelum
mempunyai pembantu, ia masih memiliki inisiatif untuk bermain, melakukan kontak
sosial sederhana dengan orangtua dan lingkungan sosialnya yang terdekat, hari
ini ia mengalami ketakutan meski hanya untuk merangkak ke teras rumah. Apalagi
untuk melakukan hal-hal lain yang berguna baginya. Ini merupakan kondisi yang
cukup membahayakan. Karena itu, kami segera mengambil keputusan. Sebelum segala
sesuatunya menjadi buruk, sebelum kekeruhan jiwanya tak lagi bisa dibersihkan,
saya dan istri sepakat untuk melakukan terapi. Alhamdulillah, Allah beri
karunia kepada kami berupa pengetahuan tentang psikoterapi. Berbagai agenda
kegiatan untuk sementara saya tunda. Kami mencari lingkungan baru dengan
menengok orangtua di Kendari, sehingga kami benar-benar bisa menjalin hubungan
yang intens dengan anak saya yang satu ini. Dua lainnya saya titipkan pada ibu
—nenek mereka— di Jawa Timur. Selama dua minggu saya dan istri senantiasa
belajar menumbuhkan keakraban dengannya, menunjukkan kepadanya bahwa lingkungan
sekitarnya sangat menyayanginya dan memberi rasa aman yang betul-betul baik,
tidak akan merenggutnya secara kasar, dan memberinya kelembutan. Bila ia
menangis, maka dada inilah yang akan menghentikan air matanya. Bukan makanan
atau gula-gula.
Sungguh,
saya merinding bila mengingat peristiwa antara Ummu Al-Fadhl dengan Rasulullah
saw. Suatu saat Ummu Al-Fadhl menggendong anaknya, kemudian Rasulullah Saw
memintanya. Di gendongan Rasulullah Saw yang mendekapnya dengan hangat, rupanya
anak ini pipis. Melihat dada Rasulullah Saw basah oleh kencing anaknya, Ummu
Al-Fadhl segera merenggut bayinya secara kasar.
Apa
kata Rasulullah Saw? Rasulullah Saw menegur dengan keras. Katanya,
"Pakaian yang kotor ini dapat dengan mudah dibersihkan oleh air. Tetapi
apakah yang sanggup menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu
yang kasar?"
Itu
sebabnya, kami mencoba memberikan terapi terhadap berbagai masalah psikologis
yang dialami oleh anak saya dengan memberinya kasih-sayang dan kehangatan
perhatian. Terkadang saya sempatkan mengecup kening anak saya ketika ia
berbaring atau saat tertidur. Bersama ibunya, saya ajak ia berbincang-bincang
mesra meskipun ia belum mampu bicara sambil tangan kami mengusap-usapnya.
Alhamdulillah, setelah berjalan kurang lebih seminggu, senyumnya mulai tampak
kembali, inisiatif-inisiatifnya mulai bermunculan, dan kecerdasannya mulai
bangkit. Ia mulai banyak berceloteh kembali. Ia memiliki kembali kepercayaan
dasar yang hilang. Ia temukan kembali rasa aman yang terenggut. Selanjutnya
tumbuh kedekatan yang mesra (attachment) antara dia dengan kami,
orangtuanya.
Bicara
tentang attachment, saya teringat dengan Diane E. Papalia & Sally
Wendkos Olds dalam buku mereka yang berjudul Human Development. Secara
jangka panjang, anak-anak yang dibesarkan dengan kemesraan yang kokoh (secure
attachment) akan lebih bebas bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin
tahunya dalam kehidupan sehari-hari, lebih memiliki keberanian untuk mencoba
hal-hal baru atau pun mengungkapkan gagasan, dapat menghadapi masalah dengan
cara-cara yang baru, dan menjadi lebih nyaman serta mudah menyesuaikan diri
terhadap orang-orang yang belum begitu akrab. Pada usia 2 tahun, anak yang
memiliki kedekatan yang kuat (securely attached children) akan lebih
antusias, persisten, mudah diajak kerjasama, dan secara umum lebih efektif
dibanding anak-anak yang kurang memiliki kedekatan perasaan dengan bapak
ibunya. Demikian yang dapat saya catat dari Papalia & Olds.
Bila
anak-anak kita memiliki kedekatan yang baik dengan orangtuanya, kelak ia akan
lebih besar rasa ingin tahunya, lebih kompeten dan memiliki keterampilan sosial
yang lebih baik. Ia lebih mudah akrab, meskipun pendiam. Ia mudah menyesuaikan
diri dengan lingkungan sosial yang baru. Sebaliknya anak yang kedekatannya
dengan orangtua sangat kacau, cenderung mudah mengalami problem-problem psikis,
sulit diajak komunikasi, dan rawan mengalami kompleks rendah diri. Anak-anak
yang semacam ini mudah mengalami perasaan sebagai anak yang tidak beruntung,
jelek, tidak hebat dan tidak memiliki keunggulan yang layak dikembangkan. Bila
ia telah merasa sebagai the bad (yang buruk), saya tak berani
membayangkan apa yang terjadi?
Alhasil,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw, membangkitkan keunggulan
anak, keimanan yang kokoh dan keterampilan sosial yang baik adalah dengan
memberinya landasan kepercayaan dasar yang baik. Membangun keyakinan yang
mantap, kreativitas dan inovasi yang segar adalah dengan menjadikannya memiliki
efikasi diri yang tinggi. Seperti kata Bandura di buku The Health Psychology
Reader (Sage Publication, 2002), yang membuat kompetensi kita
benar-benar berfungsi efektif adalah efikasi diri yang tinggi. Sementara bila
kita ingin anak-anak kita memiliki keberanian berinisiatif dan tidak lemah,
mereka membutuhkan rasa aman yang kuat dari orangtua. Maka, apabila engkau
inginkan anak-anakmu tumbuh dengan baik dan memiliki keunggulan, buatlah agar
mereka tersenyum kepadamu. Dalam diri mereka insya-Allah akan tumbuh kekokohan
jiwa yang kuat, sehingga engkau tinggal menyemainya. Inilah yang kelak mampu
menumbuhkan adversity quotient yang tinggi, yakni kualitas mental untuk
pantang menyerah.
Nah,
sudahkah engkau peluk anakmu hari ini?•
0 komentar:
Posting Komentar