AHKAMUL
AQIQAH
A. Pengertian Aqiqah
Imam
Ibnul Qayyim rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.25-26,
mengatakan bahwa : Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah “Menyembelih hewan pada
hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya.” Selanjutnya Ibnu Qayyim rahimahulloh
berkata : “Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian
karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama.” Imam Ahmad
rahimahulloh dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi
syar’I maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih
(an-nasikah).
B. Dalil-dalil Syar’i Tentang Aqiqah
·
Hadist no.1 : “Dari
Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh bersabda : “Aqiqah
dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dam hilangkanlah
semua gangguan darinya.” [Shahih HR Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat
Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]. Makna menghilangkan
gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada
[Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-‘Ilmiyah,
pent]
·
Hadist no.2 : “Dari
Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda : “Semua anak bayi
tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan
(kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [Shahih, HR Abu Dawud 2838,
Tirmidzi 1552, Nasa’I 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi
2/81, dan lain-lainnya]
·
Hadist no.3 : “Dari
Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua
kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing.” [Shahih, HR Ahmad (2/31,
158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]
·
Hadist no.4 : “Dari
Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : “Menaqiqahi Hasan dan Husain
dengan satu kambing dan satu kambing.” [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam
kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel ‘Ied]
·
Hadist no.5 : “Dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran
bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk
perempuan satu kambing.” [Sanadnya Hasan, HR Abu Dawud (2843), Nasa’I
(7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh
al-Hakim (4/238)].
·
Hadist no.6: “Dari
Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata : Rasulullah
bersabda: “Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin
seberat timbangan rambutnya.” [Sanadnya Hasan, HR Ahmad (6/390), Thabrani dalam
“Mu’jamul Kabir” 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin
Muhammad bin Uqoil]
C.
Hukum-Hukum Seputar Aqiqah
Hukum
Aqiqah Sunnah
Al-Allamah
Imam Asy-Syaukhani rahimahulloh berkata dalam Nailul Authar (6/213) : “Jumhur
ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi : “….berdasarkan hadist
no.5 dari ‘Amir bin Syu’aib.”
Bantahan
Terhadap Orang yang Mengingkari dan Membid’ahkan Aqiqah. Ibnul Mundzir
rahimahulloh membantah mereka dengan mengatakan bahwa : “Orang-orang
‘Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini
seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen)
mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari
hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah karena berdalih dengan
hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba.” [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu
Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.20, dan Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam “Fathul Bari” (9/588)].
Waktu
Aqiqah Pada Hari Ketujuh
Berdasarkan
hadist no.2 dari Samurah bin Jundab. Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa
waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya.
Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum
hari ketujuh atau sesudahnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam
kitabnya “Fathul Bari” (9/594) : “Sabda Rasulullah pada perkataan ‘pada hari
ketujuh kelahirannya’ (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang
berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang
melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat
pada waktunya. Bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari
ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata : “Kalau bayi
itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang
tuanya.”
Sebagian
membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari
Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya “Tuhfatul Maudud” hal.35. Sebagian lagi
berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari
Ibnu Hazm dalam kitabnya “al-Muhalla” 7/527.
*) Sebagian ulama
lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak
bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak
bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalm
kitab “As-Shagir” (1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin
Buraidah : “Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh
atau hari ke-14 atau hari ke-21.” [Penulis berkata : “Dia (Ismail) seorang rawi
yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar
dalam ‘Fathul Bari’ (9/594).” Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan
hadist ini mungkar dan mudraj]
Bersedekah
Dengan Perak Seberat Timbangan Rambut
Syaikh Ibrahim
bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata : “Dan disunnahkan mencukur rambut
bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada
hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan
tersebut (bersedekah dengan perak), seperti : al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani,
Imam Ahmad, dan lain-lain.”Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah
dengan emas, ini adalah hadits dhoif.
*) Tidak Ada
Tuntunan Bagi Orang Dewasa Mengaqiqahi Dirinya Sendiri. Sebagian ulama
mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh
melakukannya sendiri ketika sudah dewasa.” Mungkin mereka berpegang dengan
hadist Anas yang berbunyi : “Rasulullah mengaqiqahi dirinya sendiri setelah
beliau diangkat sebagai nabi.” [Dhaif mungkar, HR Abdur Razaq (4/326) dan Abu
Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]. Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama
sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah
atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari
ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu
aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.
Aqiqah
untuk Anak Laki-laki Dua Kambing Dan Perempuan Satu Kambing. Berdasarkan hadist
no.3 dan no.5 dari Aisyah dan ‘Amr bin Syu’aib. Setelah menyebutkan dua hadist
diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Fathul Bari” (9/592) : “Semua
hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam
membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah.” Imam
Ash-Shan’ani rahimahulloh dalam kitabnya “Subulus Salam” (4/1427) mengomentari
hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya : “Hadist ini menunjukkan
bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari
bayi laki-laki.” Al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh dalam kitabnya
“Raudhatun Nadiyyah” (2/26) berkata : “Telah menjadi ijma’ ulama bahwa aqiqah
untuk bayi perempuan adalah satu kambing.” Penulis berkata : “Ketetapan ini
(bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi
kebenarannya.”
Boleh
Menaqiqahi Bayi Laki-laki Dengan Satu Kambing. Berdasarkan
hadist no.4 dari Ibnu Abbas. Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi
laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin ‘Umar,
‘Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist
Ibnu Abbas diatas.
*) Tetapi
al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Fathul Bari” (9/592)
: “…..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah
menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki.
Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi
laki-laki dengan satu kambing….” Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang
tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah
yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.
D.
Aqiqah Dengan Kambing (Tidak Sah Aqiqah Kecuali dengan Kambing)
Telah lewat
beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor kambing untuk
laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan untuk
aqiqah dengan kambing. Dalam “Fathul Bari” (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahulloh menerangkan : “Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun
dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk
menentukan kambing buat aqiqah.” Menurut beliau : “Tidak sah aqiqah seseorang
yang menyembelih selain kambing”.
*) Sebagian ulama berpendapat
dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini
lemah karena :
[1] Hadist-hadist shahih yang
menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana
pembahasan sebelumnya.
[2] Hadist-hadist yang mendukung
pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing adalah hadist yang talif
saqith alias dha’if.
Persyaratan
Kambing Aqiqah Tidak Sama dengan Kambing Kurban (Idul Adha).
Penulis
mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan’ani, Imam Syaukani,
dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur
tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang
lebih utama adalah yang tidak cacat. Imam As-Shan’ani dalam kitabnya “Subulus
Salam” (4/1428) berkata : “Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya)
menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban.
Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan
qiyas.”
Imam Syaukhani
dalam kitabnya “Nailul Authar” (6/220) berkata : “Sudah jelas bahwa konsekuensi
qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan
hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak
pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban
(Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah
bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini
sehingga ini merupakan qiyas yang bathil.”
Imam Ibnu Hazm
dalam kitabnya “Al-Muhalla” (7/523) berkata : “Orang yang melaksanakan aqiqah
dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk
kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan.
Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat.”
Bacaan Ketika
Menyembelih Kambing
Firman Alloh
Ta'ala : “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama
Allah…” [QS. Al-Maidah : 4]. Firman Alloh Ta'ala : “Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.” [QS. Al-An’am :
121]
Adapun petunjuk
Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan telah kita ketahui
bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-Albani). Oleh
karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah
karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka
orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan : “Bismillahi wa Allohu Akbar”.
*) Mengusap
Darah Sembelihan Aqiqah di Atas Kepala Bayi Merupakan Perbuatan Bid-ah dan
Jahiliyah. “Dari Aisyah berkata : Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah,
apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan
hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas
tersebut pada kepalanya ! Maka Rasulullah bersabda : “Jadikanlah (gantikanlah)
darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi).” [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)].
Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam kitabnya “Irwaul Ghalil” (4/388) berkata :
“Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan
orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam.” Al-‘Allamah Imam Syukhani
dala, kitabnya “Nailul Aithar” (6/214) menyatakan : “Jumhur ulama memakruhkan
(membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah)..”
Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya
dia berkata : “Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak
kecil….dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah.” [HR Thabrani], maka ini
merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.
Boleh Menghancurkan
Tulangnya (Sembelihan Aqiqah) Sebagaimana Sembelihan Lainnya
Inilah
kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti ditegaskan
Imam Malik dalam “Al-Muwaththa” (2/502), karena tidak adanya dalil yang
melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang
sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa
diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan.
*) Adapun pendapat yang
menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah:
[1] Bahwasannya Rasulullah
bersabda : “Janganlah kalian menghancurkan tulang sembelihannya.” [Hadist
Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, HR. Baihaqi (9/304)]
[2] Dari Aisyah dia berkata :
“….termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya….”
[Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, HR. Hakim (4/283]
Disunnahkan Memasak
Daging Sembelihan Aqiqah
Imam Ibnu Qayyim
rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.43-44, berkata : “Memasak
daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah
dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak
merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap
nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat
menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak,
siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging
mentah yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya….Dan pada umumnya,
makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukka rasa syukur) dimasak
dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain.”
Tidak Sah Aqiqah
Seseorang Kalau Daging Sembelihannya Dijual
Imam Ibnu Qayyim
rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.51-52, berkata : “Aqiqah
merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Alloh Ta'ala. Barangsiapa
menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak
melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas
dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara
penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu
digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya” [lihat pula
“Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
Orang yang
Aqiqah Boleh Memakan, Bersedekah, Memberi Makan, dan Menghadiahkan Daging
Sembelihannya, Tetapi yang Lebih Utama Jika Semua Diamalkan.
Imam Ibnu Qayyim
rahimahulloh dalam kitabnya “Tuhfathul Maudud” hal.48-49, berkata :
“Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Alloh Ta'ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
“Karena tidak ada dalil dari Rasulullah tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Alloh Ta'ala”. [lihat pula “Al-Muwaththa” (2/502) oleh Imam Malik].
Jika Aqiqah Bertepatan dengan
Idul Qurban, Maka Tidak Sah Kalau Mengerjakan Salah Satunya (Satu Amalan Dua
Niat). Penulis berkata : “Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak
sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan.
Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika
ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya
mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan Alloh Ta'ala tidak pernah
lupa.”
Tidak Sah Aqiqah
Seseorang yang Bersedekah dengan Harga Daging Sembelihannya
Al-Khallah pernah
berkata dalam kitabnya : ‘Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa fadhliha ‘ala
ash-shadaqah’ : “ Kami diberitahu Sulaiman bin Asy’ats, dia berkata Saya
mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah : “Mana yang kamu
senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni
aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya) ?
Beliau menjawab : “Daging aqiqahnya.” [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam
“Tuhfathul Maudud” hal.35 dari Al-Khallal]. Penulis berkata : “Karena tidak ada
dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah dengan harga (daging sembelihan
aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika
bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar !
Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad .”
Adab Menghadiri
Jamuan Aqiqah
Yang
disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara aqiqahan
hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan bukan
untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat. Sedang sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad. Dan bid’ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu
ilmu adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hokum aqiqah dan
adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya
orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh. Jadi saat undangan
pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara yang berisi
ceramah, rangkaian do’a-do’a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang
mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak
lain hal itu adalah bid’ah, pent.
Wallahul Musta’an wa alaihi at-tiklaan.
Wallahul Musta’an wa alaihi at-tiklaan.
[Disalin ringkas
kembali dari kitab “Ahkamul Aqiqah” karya Abu Muhammad ‘Ishom bin Mar’i,
terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh
Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni, dengan judul “Aqiqah” terbitan Titian Ilahi
Press, Yogyakarta, 1997]
0 komentar:
Posting Komentar